Jumat, 18 November 2011

street art menyapa kota


Street Art  Menyapa Kota

Obed Bima Wicandra*


          Sorotan media massa cetak dan elektronik di Indonesia terakhir ini termasuk di Metropolis Jawa Pos adalah berita tentang tren memperindah wilayah publik yang biasa dikenal dengan street art atau seni rupa jalanan. Wabah street art bahkan sudah masuk di Surabaya dengan berbagai macam bentuknya mulai dari graffiti maupun mural (meskipun dua bentuk ini memiliki perbedaan yang mendasar).
          Street art identik dengan seni underground. Street art yang lahir pada tahun 1980-an di kota New York lebih tepat ditujukan pada graffiti atau bentuk seni rupa jalanan lain seperti stencil, sticker, poster dan lain-lain. Sedangkan mural dalam beberapa referensi perkembangan street art tidak memasukkannya dalam kategori tersebut. Sifat mural yang penuh ketelitian dalam pengerjaan sehingga memunculkan kesan sempurna tentu berbeda dengan graffiti maupun bentuk street art lain yang sifatnya cepat digoreskan pada tembok.
          Karena itulah muncul kesan, bahwa graffiti maupun stencil menghasilkan wajah buruk bagi kota yang tengah membangun image bersih, rapi dan tampak tertata, sehingga tidak heran dalam setiap aksinya kelompok graffiti biasanya harus berurusan dengan Satpol Pamong Praja. Tantangan yang memicu hormon andrenalin meningkat itu pun diikuti oleh perkembangan komunitas graffiti di Surabaya yang juga semakin meningkat seiring dengan referensi visual yang didapat dari internet, buku-buku terbitan luar negeri maupun dari hasil diskusi dengan sesama komunitas dari Jogjakarta, Bandung dan Jakarta yang lebih dulu memulai kegiatan ini sejak tahun 2000-an. Sehingga visual yang dihadirkan oleh graffiti di Surabaya pun semakin artistik, tidak lagi hanya coretan-coretan liar nama sekolah, nama geng/kelompok maupun kata-kata yang tak punya arti. Sesekali cobalah melihat graffiti di salah satu sudut kawasan Margorejo dan Gunungsari. Sangat artistik kan?      
          Berbeda lagi dengan mural yang proses pengerjaannya lebih lama daripada graffiti maupun stencil, maka mau tidak mau seniman mural memang ‘harus’ berkompromi dengan dinas-dinas kota yang terkait. Di samping itu mural memang menuntut adanya relasi sosial antara seni itu sendiri dengan kondisi masyarakat sekitar.

Respon Street Art Terhadap Ruang Publik
          Adakah di Surabaya tempat yang dinamakan ruang publik? Suatu tempat dimana kita bisa sekedar duduk dengan lega, tidak terganggu dengan tawaran iklan komersial atau bisingnya lalu lintas jalan? Suatu tempat dimana aktifitas bertemu dan bersama orang lain terjadi dalam situasi kehangatan?
          Dalam proyek Re-Publik Art di Jogjakarta pada tahun 2005 lalu dipertanyakan pula mengenai konsep kota bagi publik. Kota yang telah menjadi branding bagi merek-merek global ditengarai tidak lagi memberi cukup ruang dalam menciptakan ruang publik. Ruang publik dalam kategori spasial kota adalah ruang yang ditujukan untuk kepentingan publik. Modernitas yang menghasilkan pesan-pesan komersial seperti iklan  menjadi pihak yang bertanggung jawab atas dehumanisasi yang tercipta oleh ruang. Ruang publik adalah salah satu jalan bagi anggota masyarakat menemukan kembali ruang kemanusiaannya. Ruang publik bisa berarti tempat (plaza, alun-alun, mall, taman atau hutan kota) tapi mungkin lebih luas dari itu sebagaimana tempat umum (wc umum, rumah sakit umum) tidak selalu berarti ruang publik. Dalam perencanaan tata kota yang berhasil, apa yang dibayangkan atau dirancangkan dapat terwujud (atau mengkonstruksi) pada kenyataan praktik sehari-hari.
          Kesenian, seperti seni rupa seperti juga kota, bergerak dalam sekian aras modern yang bercabang dan menghasilkan pula kecenderungan yang beragam. Kecenderungan yang paling kuat dalam dunia seni rupa adalah kecenderungan untuk meninggalkan ruang yang khusus memajang karya seni yang selama ini telah terlembaga, yaitu galeri. Mengalihkan galeri ke tempat-tempat umum dalam berkarya seni adalah berupaya untuk menembus jarak spasialnya dengan orang banyak. Seni pun pada akhirnya bisa dinikmati oleh siapapun dengan strata sosial apapun.
          Graffiti maupun stencil memang mempunyai idealisme yang tidak mau berkompromi dengan kebijakan pemerintah kota, namun kehadirannya akan selalu ada ketika ruang publik tidak terawat dan tidak dibebaskan dari tempelan poster-poster produk iklan yang asal saling bertumpuk, bahkan ketika kota makin dihiasi oleh berbagai macam dan ukuran billboard yang menambah bising. Mural pun memiliki nafas yang sama, yaitu memperindah dan menghilangkan kesan bising kota oleh kesan kumuhnya wilayah maupun ketidak pedulian masyarakat kota dalam menciptakan keindahan.

Mural dan Lingkungan
          Mural bila dihubungkan dengan keseimbangan lingkungan, maka mural mampu membawa dampak yang cukup besar pada perkembangan kota. Sekarang di tengah arus budaya urban yang sangat tinggi serta tingkat kepadatan masyarakat kota, perkembangan mural bisa dihubungkan dengan memperindah sudut pandang kota yang ‘hilang’ akibat padatnya pengguna jalan raya, tingginya pemilik kendaraan bermotor hingga kemacetan yang terjadi. Begitu pula dengan lingkungan yang tidak seimbang akibat penebangan pohon yang sebenarnya difungsikan sebagai paru-paru kota menambah panasnya hunian serta tingkat polusi yang tinggi. Hal demikian dimanfaatkan oleh mural dengan ‘menawarkan’ alternatif bagi mata untuk menangkap kesan estetik ketika hal itu tidak ditawarkan oleh bangunan kota, papan iklan maupun estetiknya mobil keluaran terbaru.
          Dalam politik kota yang semrawut, mural berbicara untuk melukis dinding kota yang tidak terawat, kotor nan sangat kumuh dengan sentuhan estetika (seni). Hal ini menunjukkan kegelisahan para perupa kontemporer untuk mencari kaitan antara wacana seni rupa dan kehidupan kota sebagai representasi keseharian. Kota sudah memasuki fase pelupa. Pada saat yang sama kota telah berubah menjadi rimba tanda-tanda yang mengubur sejarah kotanya sendiri dan kota tidak lagi sarat dengan kenangan lama yang menjadi saksi berkembangnya kota dari hari ke hari. Hal inilah yang menjadi dasar alasan yang kuat mengapa mural dilakukan dan mengapa pula mural sebaiknya tidak dipakai sebagai alat promosi sebuah produk.
          Sekedar perbandingan saja, di Jogjakarta mural dalam perkembangannya tidak lagi dibuat oleh seniman namun justru oleh masyarakat sendiri. Mereka mengerjakan mural itu di pinggir-pinggir jalan lingkup RT maupun jalan masuk gang. Terkesan mural di Jogja bahkan seperti gerakan massal yang memaksa pihak biro iklan harus memutar otaknya lagi untuk memasang poster iklan, karena ternyata ruang publik itu sudah kembali ke masyarakat sendiri. Menurut data dari Samuel Indratma, penggagas mural di Jogja sekaligus seniman dari Apotik Komik, telah lebih dari 500 karya mural dihasilkan oleh masyarakat Jogja. Sebuah usaha yang bisa dipakai sebagai salah satu trik menjauhkan masyarakat dari penyakit sosial, selain juga sebagai usaha yang bagus untuk mengajak berbagai lapisan masyarakat mulai dari yang muda hingga yang tua dalam menciptakan kondisi kota yang tidak saja bersih namun juga indah.
          Mari mewarnai kota Surabaya ini dengan bahasa keindahan!***



Identitas Penulis:
Obed Bima Wicandra
Aktivis “Tiadaruang Art Community” dan dosen Desain Komunikasi Visual UK Petra Surabaya.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Online Project management